Sebenarnya momen bapernya, sih, sudah usai, tapi karena ketemu lagi, jadinya, ya… ingat lagi😂


“… sebagai mahasiswa S3, saya merasa seharusnya punya sesuatu yang lebih daripada S2.”


Demikian potongan protes salah satu mahasiswa doctoral saat sesi tanya jawab pada kuliah umum daring mengenai Gender dalam perspektif Islam dua minggu lalu. Beliau merasa kurang adil jika materi yang didapatkan sama dengan peserta lain yang berasal dari non S3. Kenapa ilmu yang seharusnya diterima oleh mahasiswa di level akademik tertinggi dibagikan juga pada orang-orang dengan level akademik di bawahnya?


“Apa gunanya kuliah S3 kalau begitu?” lanjutnya.

Terus terang mendengar kata-kata beliau saya syok, clueless, nelangsa, dsb. Saya yakin, teman-teman lainnya juga seketika insekyur dan berdialog dengan diri sendiri, “Don’t I deserve to learn something new?”, “Am I too stupid and not able to get those lecture well?”, “Oh, why did I attend this ‘high level’ class?” and more.


Masalahnya, kami yang non mahasiswa S3 ikut perkuliahan ini juga bukan sebagai penyusup karena sudah terdaftar resmi dan masuk grup messenger. Sang narasumber, yakni seorang dosen S3 di salah satu kampus ternama, yang mengajak kami ikut serta. Jelas tujuannya agar lebih banyak orang yang tahu bagaimana perspektif Islam dalam melihat gender, yang didasarkan pada telaah Al Quran dan Hadits serta para penafsirnya. Tahu sendiri selama ini kita para perempuan terkungkung dalam diskriminasi, dalam ketimpangan gender dan tafsir agama menjadi salah satu faktor pendukungnya. Bahkan dalam pretest ditemukan bahwa masih banyak peserta yang belum bisa membedakan antara gender dan kodrat. Apa yang dilakukan bu profesor itu salah?

Dengan bijak bu dosen memberi penjelasan bahwa materinya sudah disesuaikan. Bagi mahasiswa S3 nantinya akan ada penambahan materi di kelas khusus.


Obviously, mana mungkin seorang dosen senior tidak memikirkan materinya baik-baik? Seingat saya, saat masih awal pertemuan, kuliah memang ditujukan untuk kami yang masih awam, agar paham konsep dasar kodrat dan gender. Lantas di pertemuan berikutnya baru, deh, mahasiswa S3 diikutsertakan. Siapa tahu maksud bu dosen agar mereka bisa mengingat kembali hal-hal yang pernah diajarkan.


Lagian, sebelum kelas berlangsung, mahasiswa kelas atas ini bisa bertanya dulu ke dosen, terkait kelas yang akan diikutinya, kan? Beliau juga seharusnya sangat bisa menahan protes tersebut dan mengajukannya saat kelas khusus S3 kok! Daripada mengatakan hal yang kurang tepat di ruang publik dengan audiens yang beragam. Paling tidak, berilah kata pengantar terlebih dahulu, misal “maaf sebelumnya”, lalu menata kata-katanya agar tidak menyakiti kami, kaum PROLETAR, eh, yang non mahasiswa S3. Alih-alih menerapkan sikap tidak mendiskriminasi seperti topik yang diusung, nyatanya justru berkebalikan.

Menanggapi hal tersebut, ada segelintir peserta yang bersuara melalui kolom komentar, tapi kesemuanya lebih “menertawakan” diri sendiri, sih🤣. Misalkan, “Pertanyaannya kelas s3 yg luar biasa, sinyal saya s1 g kuat 😂” atau “S3 memang beda wkwk.” Ada juga yang menjelaskan bahwa ia berasal dari peserta umum yang memang tertarik belajar tentang gender.


Setelah insiden tersebut, perkuliahan terakhir kemarin suasananya lebih sepi. Beberapa orang meninggalkan grup WA. Kelas tatap muka daring yang biasanya diikuti 150-200an peserta, tiba-tiba menyusut jadi kurang dari 60 orang. Entah karena sakit hati, merasa sudah tidak sanggup mengikuti materi atau memang sedang sibuk. Saya yang tak tahu malu ini tetap masuk kelas sesuai jadwal, meski ada yang melontarkan kata “penyusup”. Semoga kata itu bukan ditujukan pada saya. Kalaupun iya, no baperlah kalau ini~

Pertama, saya menyesalkan kenapa protes tersebut terjadi di tengah-tengah atmosfir kelas yang menyenangkan, baik secara tema maupun cara penyampaian materinya. Kenapa tidak cari waktu tersendiri ngobrol dengan dosennya? Apa tingginya stratifikasi keilmuan seseorang membuatnya merasa tidak layak berada dengan kami yang fakir ilmu ini? Oh dude, come on, it’s only a (virtual) class. Saya yakin, tidak semua mahasiswa S3 seperti itu, masih banyak yang jauh lebih bijak. FYI, setelah saya telisik, mas-mas ini baru lulus SMA tahun 2012 dan lanjut ke jenjang pendidikan tinggi nyaris tanpa henti. OMG, he’s an offspring, tho, does it affect his mindfulness? *dear me, don’t judge pls… selow

Kedua, mas ini secara tidak langsung menghambat tujuan mulia ibu profesor dalam hal sharing ilmu dan buka wawasan banyak orang awam, bahwa Islam ini pada dasarnya menghargai kesetaraan (diskriminasi selama ini disebabkan banyaknya tafsir yang bias). Susah payah profesor memberikan pencerahan, eh, ada yang memperkeruhnya🤦

On the other hand, saya semakin sadar siapa diri saya dan seberapa besar kapasitas otak saya.

Path of PhD. Source: https://mymodernmet.com/

Infografik dari profesor Matt Might ini menggambarkan betapa keren dan hebatnya orang-orang yang berada pada jenjang S3, karena step yang dilalui nggak main-main, hingga mereka bisa menyentuh ujung area pengetahuan manusia, bahkan lebih. Sehingga tak heran jika para doktor memiliki kekayaan ilmu pengetahuan sesuai bidang dan kematangan pola pikirnya. Cara mereka melihat dunia tentu juga berbeda pula dari kami yang awam. Mereka memang di atas rata-rata. Well, ga perlu dijelasin deh kayaknya, cukup baca infografiknya.

Nah, makanya saya mafhum, kuliah Gender yang saya ikuti ini bukan sekadar remeh temeh, karena membicarakan banyak hal dari segi linguistik hingga fikih, dari hadist palsu hingga asli, dari perawi yang resmi hingga yang dicap ilegal. Saya mana paham siapa Fatimah Mernissi, Ibnu Katsir, dkk… otak saya jelas nggak sampai sana karena memang tidak mempelajari tafsir mereka dan metode analisis gender. Jurnal dan buku yang direkomendasikan pun belum semua saya cari, eh sudah dihapus link-nya 😂. Ya, meskipun otak saya kalah jauh jika dibandingkan milik para mahasiswa S3, setidaknya saya bisa sedikit belajar dasarnya. Bisa tahu ayat-ayat mana yang selalu dijadikan pembelaan oleh kaum patriarkis dan apa makna yang sebenarnya saja sudah membuat saya bersyukur. Thank you, dear Prof.

Lastly, plot twist! Alih-alih kami yang non S3, ternyata justru mas mahasiswa tersebut yang mengalami insekyur. Sudah susah payah masuk S3, melewati rentetan fase, apalagi kalau bayar sendiri (tapi insya Allah beasiswa), eh malah orang lain bisa dapat materi serupa secara cuma-cuma. Tentu beliau merasa itu tidak adil. Lebih parah lagi jika ada peserta seorang mahasiswa S1 atau ibu-ibu yang justru lebih mampu menangkap isi perkuliahan, sehingga lebih paham daripada beliau. Wah, pasti merasa tersaingi, dong! Kan banyak juga orang yang menutupi ketidakpercayaan dirinya dengan cara sebaliknya. Salah satunya dengan menganggap rendah orang lain, ups… *jgn julid pls

Well, telah melalui beragam fase akademik memang luar biasa, tapi ilmu pengetahuan di bumi ini jauh lebih luas dan tak terbatas. Jadi mungkin as a reminder for me myself, to always down to earth. Saya sangat mengapresiasi ibu dosen narasumber, yang merupakan profesor serta lulusan PhD luar negeri, di perkuliahan ini, yang dengan baik hatinya berbagi ilmu tanpa takut ada yang menyaingi ataupun membuat ilmunya berkurang. I wish one day I’ll embark on PhD, as well and always be a humble person. Aamiin.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.