Nostalgia Panitia Wisuda

Wisuda, acara seremonial yang paling ditunggu (sebagian besar) mahasiswa di akhir masa studinya. Setelah jatuh bangun, wisuda menjadi sebuah perayaan tersendiri atas keberhasilan mereka melalui tahun-tahun penuh rintangan. Memakai toga, duduk bersama teman-teman sesuai fakultas dan jurusan, lalu melangkah ke podium untuk melakoni ritual pemindahan tassel mortarboard dari sebelah kiri ke kanan dan tentu saja berjabat tangan dengan rektor atau dekan. Kalau mahasiswa berprestasi, sih, biasanya akan didapuk untuk memberikan pesan kesan juga.

Fyi, ternyata pemindahan tassel ini memiliki makna tersendiri, loh! Dan saya baru tahu jauh setelah lulus kuliah. Silly, rite? Itu pun karena dijelaskan seorang teman relawan. Katanya, semula tassel di sebelah kiri karena mahasiswa menggunakan otak kiri yang berhubungan dengan materi, bahasa, dan juga hafalan. Ketika wisuda, tassel dipindah ke kanan karena mahasiswa akan terjun ke masyarakat, sehingga diharapkan menggunakan otak kanan yang berhubungan dengan imajinasi, kreativitas dan inovasi. Berat, kan tanggung jawabnya? Jadi jangan congkak hanya karena pernah kuliah.

Selepas wisuda, biasanya wisudawan akan mengabadikan momen bersama dengan keluarga, teman atau gebetan. Lantas satu-persatu meninggalkan lokasi. Di saat seperti itu yang tersisa hanyalah kesemrawutan, dari tempat duduk hingga sampah di sana sini. Lagi-lagi panitia yang tenaganya sudah terkuras masih harus membereskan semuanya. Kan ada petugas kebersihan? Ya tetap saja bantu-bantu, dong, apalagi untuk kampus mungil yang panitianya hanya segelintir seperti di tempat saya (dulu). Nama-nama di daftar panitia pun biasanya hanya formalitas dan yang banting tulang cuma itu-itu saja.

Well, kenapa tiba-tiba saya membahas wisuda? Jadi, tadi sore salah satu mantan kolega saya, sebut saja K, mengirim sebuah foto tangkap layar status WA seorang mantan mahasiswa. Rupanya si mantan mahasiswa yang sudah menjadi ayah itu kangen dengan masa-masa wisudanya dan mengunggah foto panitia wisuda—cuma enam srikandi yang memang berjuang mewujudkan seremoni terbaik untuk para mahasiswa. Laki-lakinya juga ada, tapi ya, yang beneran kerja cuma dua orang.

Sebagai sie acara, saya tidak hanya take over pada hari H, melainkan take over hampir semua tugas sie lain dari jauh-jauh hari. Bisa dibayangkan betapa remuk badan dan mental ini. Nah, berhubung kurangnya SDM, beberapa mahasiswa kami libatkan, termasuk si pembuat status WA, padahal dia sendiri menjadi calon wisudawan saat itu.

Uggahan N, inisial si mahasiswa, membuat saya tertawa sekaligus kangen juga dengan masa-masa romusha itu. Alhasil, saya pun bernostalgia sama K. Dia cerita, saat itu adalah hari ulang tahun pertama putranya. Sembari menggendong bayi, ia berusaha tetap professional menjalankan tugasnya, bahkan H-1 dia pun pulang tengah malam seperti lainnya. Untung ada suaminya yang siaga. Sedangkan saya bersama salah satu kolega justru sempat nyasar terlebih dahulu karena sama-sama buta wilayah.

“Sampai detik ini, wisuda tersebut adalah yang terbaik yang pernah dilaksanakan di kampus X”, kata K yang saya amini.

Memang, wisuda saat itu memberi kepuasan tersendiri untuk saya, “first time and yes, I did it!” Ya, ada acara lain yang juga lancer, tapi vibe-nya sudah beda. Perjuangan untuk mewujudkan wisuda yang beda dengan sebelum-sebelumnya sangat sulit. Banyak adu argument terutama dengan para petinggi, yang notabene para Boomer.

Bukan bermaksud age harassment, tapi apa yang saya alami di PT ini memang demikian. Biasanya mereka memutuskan segala sesuatu secara sepihak, tanpa “mendengar” opini kami. Padahal era semakin berkembang, pikiran-pikiran konvensional kurang compatible dengan zaman. Harusnya mereka apresiasi karena di antara minimnya jumlah dosen dan karyawan, sebagian dari mereka usianya masih muda, energik, kreatif dan ikhlas masio bayarane ganok~ Sayang para petinggi tidak mau memberi ruang untuk kami berkembang dan bahkan mengapresiasi pun enggan. Not to mention, but my environment was totally toxic.

Makanya, ketika proposal wisuda dengan berat mereka setujui, kami justru kian semangat. Dan ketika acara selesai, puasnya terasa luar biasa. Selama ini wisuda yang diselenggarakan kampus jauh dari atraktif, bahkan terkesan monoton dari berbagai macam hal. Kami hanya ingin memberi napas dan wajah baru, toh, ini juga bagian dari memperkenalkan kampus mungil ke publik.

Di balik keberhasilan wisuda, sebenarnya para petinggi tetap saja ‘mengusik’ dengan berbagai macam kengototan yang tidak masuk akal. Bayangkan, H-1 hampir pukul 23, rektor minta backdrop diganti dengan alasan salah penulisan. Alhasil kami pun adu argumen dan tetap mempertahankan pola kalimat yang digunakan dalam Bahasa Indonesia dan contohnya di universitas lain. Selain itu, mana ada tempat banner yang masih buka? Beliau juga minta untuk menambah tamu undangan tertentu secara mendadak, padahal jauh-jauh hari sudah diberi daftar lengkap tamunya dan acc. Itu hanya segelintir di antara banyaknya permintaan dan instruksi yang nggak make sense.

Tapi finally acara bisa berlangsung dengan lancar pada hari H. Melihat wajah berbinar mahasiswa dan orang tuanya menjadi obat lelah untuk kami yang berminggu-minggu terganggu tidur dan makannya. Melihat semringah suami istri mahasiswa yang sudah berkeluarga membuat kami lega luar biasa. Melihat anak-anak kecil membawa kotak snack sembari menggandeng tangan ayah atau ibunya yang baru diwisuda menjadikan kami sangat bangga. Bangga atas pencapaian para wisudawan. Bangga atas kerjasama panitia—yang memang kerja—juga.

Setelah kesuksesan wisuda tersebut, sampai saat ini belum ada lagi yang mampu menyamai. Ini konteksnya di eks tempat kerja saya, ya… Bahkan ada mahasiswa yang pernah kami libatkan menjadi panitia merasa iri dan protes pada k karena wisuda mereka tidak semenarik angkatan sebelumnya.

Ya, bagaimana lagi. Mayoritas panitianya sudah hengkang dari padepokan, eh, dari lembaga pendidikan tinggi tersebut demi kesehatan mental, hehehe.

Terima kasih N, sudah mengingatkan saya akan kebahagiaan kalian melalui story WA. So far, I’m so proud of myself, too, karena pernah turut berjuang untuk sedikit memberi suka ria pada mahasiswa dan keluarganya.