Bertahun-tahun menjadi pengguna setia transportasi umum membuat saya khatam dengan berbagai polah penumpang dan awak kendaraan. Terakhir, saya sempat mengonfrontasi seorang pria paruh baya di kereta lokal arah Surabaya, karena terus memotret dan merekam dua penumpang perempuan—berhijab—tanpa izin.

Pelaku – Dokumentasi pribadi

Bangku kami berseberangan. Satu korban duduk di depan saya dan seorang lagi duduk di depan pelaku. Saya yang sejak awal curiga, langsung mendesak pelaku untuk menghapus semua file, yang ternyata berisi banyak foto perempuan di angkutan kota. Dia berkilah dan segera turun di stasiun Wonokromo sebelum saya sempat saya melaporkan. Korban yang sebelumnya sudah saya peringatkan hanya bengong melihat pelaku meninggalkan bangkunya.

Kemungkinan korban belum paham betul tentang pelecehan seksual dan bentuk-bentuknya. Meski tidak menyerang secara fisik, tapi apa rela jika foto kita salahgunakan orang asing sebagai objek pemuasan diri atau bahkan disebarkan melalui media sosial?

Peristiwa di atas merupakan satu dari sekian banyak jenis pelecehan seksual yang saya temui dan alami. Ruang publik menjadi tempat yang sangat tidak aman untuk perempuan. Menurut survei Koalisi Ruang Aman Publik (KRPA) tahun 2019, jalan umum, transportasi publik, disusul oleh institusi pendidikan menjadi lokasi pelecehan seksual terbanyak.

change.org

Ironinya, saksi pelecehan hanya abai. Seperti halnya cerita saya di atas, penumpang lain yang mengetahui kejadian tersebut hanya bergeming. Seolah mencuri foto adalah hal sepele. Padahal sekecil apapun bentuknya, yang namanya pelecehan seksual ya tetap merugikan perempuan. Dan jika diabaikan justru menjadi sebuah pemakluman untuk melanggengkan praktek-praktek kekerasan berbasis gender.

Magdalene.co
Akar Masalah

Sebagai salah satu bentuk dari kekerasan seksual, pelecehan seksual pada dasarnya bisa terjadi pada siapa saja, namun perempuan 13 kali lebih rentan mengalaminya.

Berdasarkan pemaparan Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas Perempuan, dalam webinar yang diadakan oleh Puspeka Kemdikbud, akar kekerasan terhadap perempuan ini ada dua. Pertama, relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan dianggap lebih rendah dan tidak penting. Kedua, ideologi patriarki yang selalu membesar-besarkan perbedaan biologis, di mana laki-laki memiliki peran maskulin dan perempuan identik dengan peran feminin. Hal ini ditambah dengan interpretasi ajaran agama yang bias gender pula.

Selama perempuan hidup di dalam budaya yang timpang seperti ini, kekerasan berbasis gender tidak bisa dihindari. Apalagi nihilnya hukum tegas yang memayungi kasus-kasus seperti ini. RUU PK-S saja masih belum jelas kelanjutannya. Lantas bagaimana nasib kami, para perempuan agar bisa hidup dengan tenang?

Perempuan Bergerak

Kita tidak bisa berpangku tangan menunggu regulasi entah sampai kapan. Memang guna memutus rantai patriarki dibutuhkan kerjasama antara banyak lini, dan keluarga serta sistem pendidikan menjadi pondasi untuk membentuk relasi sehat berbasis kesetaraan. Namun itu tentu bukan perkara instan. Perempuan sebagai yang dilemahkan harus berani melawan mulai sekarang.

  1. Speak up. Jangan takut menceritakan pelecehan atau kekerasan yang dialami pada orang yang dipercaya atau melaporkannya pada pihak berwajib.
  2. Stop stigmatisasi. Jika ada yang mengalami, jangan menyalahkan dan justru menertawai, sebab pelecehan juga mengancam kita.
  3. Stand up. Berdiri dan peduli jika melihat perempuan lain mengalami pelecehan atau kekerasan, karena ini adalah wujud kemanusiaan.

Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, mau kapan lagi?

One thought on “TERUNTUK PARA PEREMPUAN, MARI KITA BERGANDENGAN TANGAN

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.